Rabu, 08 April 2009

Parakanmuncang

Isi
Wawacan Kumbanglalana
Wawacan Layang Seh
Wawacan Panganten Tujuh
Wawacan Parikesit
Sajarah Turunan Parakanmuncang
Wawacan Samaun
Wawacan Si Ogin Amar Sakti
Wawacan Sulanjana


Wawacan “Kumbanglalana”
Di negeri pandan Emas hidup seorang pendeta Rukmin. Ia beristri kepada Sekarsari dan mempunyai seorang anak perempuan bernama Sekar Kembang. Pendeta Rukmini menghilang secara ajaib saat selesai memberi fatwa kepada putrinya.
Di kerajaan Lintang Emas memerintah seorang raja muda bernama Kumbanglalana yang didampingi oleh ibunya bernama Antaningsih. Pada suatu hari Kumbanglalana permisi kepada ibunya akan pergi mencari calon permaisuri. Di sebuah taman kumbanglalana ia bertemu dengan seorang puteri yang sedang menenun. Puteri itu ternyata Sekarkembang, mereka mengikat janji dan sebelum Kumbanglalana pulang telah memberikan sebuah cincin kepada Sekarkembang. Cincin tersebut berisi jin kamal dan Jin kamil yang dapat dipanggil dimintai bantuan bila mendapat kesusahan.
Raja Sapuangin dari negeri Kerendan ingin mempunyai permaisuri. Ia pergi ke Pandan Emas akan meminang Sekarkembang. Namun, ditolak oleh puteri sebab sudah mempunyai ikatan janji dengan kumbanglalana. Sekarkembang dipaksa dibawa terbang oleh Sapuangin ke kerendan. Di Kerendanpun Sekarkembang tetap menolak dan tidak mau menyerah. Maka Sekarkembang disiksa oleh Sapuangin.
Atas pertolongan Jin Kamal dan jin kamil, Sekarkembang terhindari dari kekejaman Sapuangin dan terhempas ke sebuah tempat yang didiami seorang pendeta. Pendeta itu ternyata ayahnya sendiri yang menghilang pada waktu dulu. Dari ayahnya, Sekarkembang memperoleh azimat sakti, atas nasihat ayahnya pula Sekarkembang menyamar menjadi laki-laki menggunakan nama Gandapeweca. Berangkatlah Gandapeweca ke Kerendan. Di Kerendan Gandapeweca dapat menundukan Sapuangin sehingga akhirnya ia diangkat menjadi raja
Di pandan emas, Sekarsari sangat merindukan anaknya. Ia mencari anaknya dengan arah tak tentu tujuan. Ketika Sekarsari sedang mandi di sungai, ia terbawa hanyut sampai ke laut. Di laut Sekarsari ditolong oleh kura-kura putih jelmaan suaminya. Kemudian seorang pencari ikan bernama Legawa menolong dan membawanya pulang ke rumahnya. Legawa adalah bekas pejabat keraton Kerendan yang dipecat karena difitnah oleh seorang temannya.
Kumbanglalana pergi ke Pandan emas akan menjumpai Sekarkembang. Ketika mendengar kekasihnya dibawa lari oleh Sapuangin. Kumbanglalana pergi ke Lintang Emas dan membawa pasukan untuk kemudian menyerang negeri Karendan. Terjadilah pertarungan antara Lintang emas dan Kerendan. Padahal pada waktu itu raja karendan adalah sekarkembang yang menyamar menjadi Gandapeweca. Ketika Kumbanglalana menyerah kalah, Gandapeweca menyingkapkan tabirnya. Maka kemudian mereka menikah dan memerintah di Kerendan. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Panjilalana.
Ketika di Karendan sedang berlangsung pesta pernikahan Sekarkembang dengan Kumbanglalana, ada pencuri menyusup ke keraton. Barang curiannya diletakkan di depan rumah Legawa, kemudian Legawa ditangkap. Akan tetapi, karena tidak terbukti bersalah Legawa dibebaskan dan diangkat menjadi menetri negara di keraton. Sejak saat itu Sekarsari berkumpul kembali dengan Sekarkembang, menantu dan cucunya.
Tersebutlah negeri Atas angin diperintah oleh seorang ratu jin bernama Wirasati. Karena usaha menguna-gunai panjilalana tidak berhasil, dengan berbagai kelicikan dapat membawa Kumbanglalana dan Sekarkembang pergi menyusul orang tuanya ke negeri Atasangin. Akan tetapi, di tengah perjalanan ditangkap oleh seekor burung garuda yang sedang mencari mangsa.
Andrawati puteri raja Selawaja dari kerajaan Bantarasih dicuri pula oleh burung garuda yang lain, dan bertemu dengan burung garuda yang membawa Panjilalana. Kedua ekor burung garuda itu bertarung karena masing-masing merasa takut barang curiannya direbut. Karena mereka berkelahi sambil membabi buta, menyebabkan lupa pada barang bawaannya masing-masing sehingga Panjilalana dan Andarwati jatuh ke sebuah samudera. Kedua orang itu dapat menyelamatkan diri sehingga tibalah di perbatasan Syekh Ibrahim. Oleh Syekh Ibrahim mereka diberi beberapa azimat kesaktian. Kemudian Panjilalana menyamar menjadi seorang kakek-kakek yang bernama Muletmaja dan Andarwati menyamar menjadi seorang anak kecil yang bernama Muletsari. Mereka kemudian berangkat ke Atas angin untuk menuntut balas.
Negeri Atasangin diserbu oleh Kerendan dan oleh Muletmaja serta Muletsari. Wirasati raja negeri Atasangin dapat dikalahkan oleh Muletmaja dan Kumbanglalana beserta istrinya dapat dikembalikan kepada wujud semula. Muletmaja dan Muletsari pun berubah wujud kembali. Andarwati pulang ke Bantarasih diantar Panjilalana. Mereka kemudian menikah.
Andarwati diculik oleh patih dari negeri Atasawon yang dirajai oleh ayah Wirasati. Andarwati akan dijadikan obat Wirasati karena sakit tatkala berperang dengan Muletmaja. Andarwati dapat ditolong oleh Panjilalana dan Syekh Ibrahim. Akhirnya, mereka pulang kembali ke Bantarasih dan disana memegang tampuk pemerintahan.





Wawacan “Layang Seh”
Sayidina Ali bin Abi Talib, salah satu sahabat Nabi Muhammad, mempunyai keturunan yang bernama Abu Soleh. Abu Soleh beristeri Fatimah yang kemudian mempunyai anak yang bernama Seh Abdul Kodir Jaelani, yang dilahirkan pada tahun 470 Hijrah di Jaelan. Nama Jaelan diambil dari nama tempat kelahirannya.
Kakek Seh Abdul Kodir Jaelani mempunyai nama Jaelan. Oleh karena itu, keturunannya dapat juga mempunyai nama Jaelani.
Seh Abdul Kodir Jaelani mempunyai seorang saudara laki-laki yang bernama Abu Ahmad dan seorang bibi yang bernama Dewi Aisah. Keduanya mempunyai kepandaian ilmu yang tinggi dan mempunyai jiwa yang sakti
Pada waktu kanak-kanak, Seh Abdul Kodir jaelani belajar membaca Al Qur’an sehingga hapal di luar kepala. Kemudian dia belajar berbagai ilmu agama Islam kepada berbagai guru. Seh Abdul Kodir Jaelani berguru fikih kepada ulama terkenal yang bernama Abdul Wapadi, berguru ilmu hadis kepada Abi Golib dan Seh Muhammad bin Hasan Mubarok, berguru ilmu nahu kepada Abu Kosim bin Muhammad, berguru ilmu mantek, maani dan logat kepada Seh Jakaria Yachya, berguru ilmu tata krama sopan santun kepada Hujatul Aripin. Selain itu, masih banyak lagi guru yang terkenal dan ulama ahli marifat yang mengajarkan ilmunya kepada Seh Abdul Kodir Jaelani.
Kecerdasan dan kepandaian Seh Abdul kodir Jaelani mengguli teman-teman seperguruannya. Bahkan, dia dapat melebihi kepandaian guru-gurunya. Ada seorang guru yang belum sempat diserap ilmunya, yaitu Imam Rapii, karena sebelum menyelesaikan pelajarannya guru itu telah meninggal dunia. Ketika para ulama di Bagdad mencari pengganti Imam Rapii, maka pilihan jatuh kepada Seh Abdul Kodir Jaelani.
Dia menjadi guru agama untuk seluruh Bagdad. Mazhab yang dianutnya adalah mazhab Imam Hambali. Kemudian seh Abdul Kodir jaelani terkenal sebagai seorang wali. Hal tersebut diterangkannya kepada salah seorang yang bertanya kepadanya. Dia mengatakan bahwa dia telah merasa diangkat sebagai wali ketika dia berumur 10 tahun. Ada malaikat yang melarang bermain dengan anak-anak yang lain dan mengatakan kepada mereka bahwa tempat ini harus dikosongkan, berikan kepada Seh Abdul Kodir jaelani sebagi waliyullah.
Ketika Seh Abdul Kodir sedang bermain-main di kampung Jaelan, ada suara yang berkata:”Hai Muhidin yang diberkahi”. Ketika sedang berada di dalam kamarnya terdengar pula suara gaib yang mengatakan bahwa dia (suara itu) tidak senang kepada orang yang melakukan pekerjaan yang tidak baik. Segeralah memohon petunjuk kepada Allah yang pengasih dan penyayang.

Hikayat 1
Pada waktu Seh Abdul Kodir dilahirkan, dia tidak mau menyusu karena hari itu adalah hari permulaan saum. Penduduk Jaelan hari itu mulai bersaum Ramadan.

Hikayat 2
Pada suatu waktu terdengar suara gaib oleh Seh Abdul Kodir Jaelani, “Aku yang mengadakan dan meniadakan, janganlah engkau mengantuk, bukankah ada yang sedang kau tunggu. Bila ingin tidur, tidurlah di tempatnya, bila tidak, bisa lupa kepada Yang MahaKuasa.

Hikayat 3
Seh Abdul Kodir Jaelani menerangkan kepada masyarakat bahwa mereka jangan berbuat yang tidak baik, yang terkutuk dan jangan berbohong. Hal seperti itu dilakukannya sejak ia kecil.
Ada seekor sapi yang berkata kepadanya bahwa dia dikasihi Allah. Janganlah terlalu senang bermain sebab tidak izin Allah. Setibanya di rumah, dia mohon ijin ibunya untuk pergi ke Bagdad untuk berguru kepada para wali dan memohon doa kepadanya. Ibunya berpesan agar jangan berbuat bohong. Seh Abdul Kodir Jaelani diberi uang wasiat dari ayahnya sebanyak 40 dinar.
Di tengah perjalanan dia dicegat perampok. Ketika ditanya oleh perampok membawa apa, dia menjawab membawa uang 40 dinar. Ketika ditanya lagi mengapa dia berterus terang, dijawabnya bahwa ibunya telah berpesan jangan berbohong. Atas kejujuran Seh Abdul Kodir Jaelani, perampok itu takluk kepadanya.

Hikayat 4
Seh Abdul Kodir datang berguru kepada salah seorang ulama yang bernama Seh Abdul Wapa. Tetapi, dia ditolaknya. Dia datang lagi untuk kedua kalinya, yang kemudian ditolaknya pula. Pada ketiga kalinya, dia dirangkul oleh Seh Wapa dan dikatakannya kepada murid-muridnya bahwa murid baru itu adalah waliyullah.
Oleh gurunya, dia diberi barang-barang pusaka yang berupa sajadah, tasbih dan tongkat. Gurunya berpesan agar berbuat kasih sayang terhadap sesama umat manusia dan orang tua.

Hikayat 5
Dalam perjalanan ke Bagdad, di tengah hutan Seh Abdul Kodir bertemu dengan Seh Abdullah beserta anaknya. Mereka akan pergi ke Seh Gaos. Seh Abdul Kaodir Jaelani bermaksud berguru memohon ilmu kepada Seh Gaos, sedangkan Seh Abdullah beserta aaknya bermaksud mengadu ilmunya dengan Seh Gaos.
Seh Gaos telah mengetahui maksud mereka, yang kemudian berkata bahwa Seh Abdul Kodir Jaelani akan menjadi wali, sedangkan Seh Abdullah beserta anaknya kelak akan sengsara. Ternyata ramalan itu benar terjadi.

Hikayat 6
Suatu ketika Seh Umar Kemani dan Seh Umar Bajaj melihat ada seseorang yang bertanya kepada Seh Abdul Kodir Jaelani mengapa dia disebut Seh Muhidin. Diceritakannya bahwa ketika di Bagdad ada seorang yang berpenyakit kudis dan berbau amis minta ijin duduk di dekat Seh Abdul Kodir Jaelani, tiba-tiba kudisnya hilang, dia menjadi sehat dan kulitnya bercahaya. Orang tersebut berkata bahwa Seh Abdul Kodir Jaelani akan menyemarakkan agama Allah. Orang itulah yang memeri nama kepadanya Seh Mugidin.




Hikayat 7
Seh Arip menceritakan bahwa ketika Seh Abdul Kodir Jaelani menyepi, datang segerombolan setan mengganggu. Dia tidak terganggu, malahan setan-setan itu cersujud dan pergi mejauh.

Hikayat 8
Seh Abdul Rojak menceritakan kepada teman-temannya bahwa pada suatu ketika Seh Abdul Kodir Jaelani shalat. Tiba-tiba di atas sajadahnya ada seekor ular, yang kemudian melilitnya pada tangan dan lehernya. Setelah selesai shalat, ular itu menghilang.
Keesokan harinya ada seorang laki-laki yang berkata, bahwa dia adalah jin yang berupa ular yang semalam mengganggunya. Dikatakannya bahwa dia baru bertemu dengan wali yang sangat luhur seperti Seh Abdul Kodir Jaelani. Dia bertobat dan tidak akan mengganggu lagi

Hikayat 9
Abu Isa nin Muhammad dan Abu Hasan bin Ibrahim menceritakahn bahwa, Seh Abdul Kodir Jaelani selama 15 tahun, setiap selesai sholat, Isa selalu mebaca Al Qur’an hingga subuh, dan selama 25 tahun setiao malam suka mengunjungi hutan.
Suatu ketika dia bertemu dengan Nabi Hidir di hutan. Nabi Hidir melarangnya pergi ke hutan dan harus menunggunya selama setahun. Permintaan itu ditaatinya. Ketika datang kembali, Nabi Hidir memberinya roti dan mentega

Hikayat 10
Seh Ajhari dan Seh kobari menceritakan pengalaman ayahnya yang pergi bersamsama dengan seh Idi. Di tengah perjalanan bertemu dengan Seh Idi. Di perjalanan bertemu dengan wanita yang miskin memberikan roti untuk Seh Abdul Kodir Jaelani. Kemudian diketahui bahwa wanita itu seorang wanita gaib yang memuliakan dan menguji keluhuran Seh Abdul Kodir Jaelani.
Hikayat seluruhnya berjumlah 100 buah, yang dapat disingkat menjadi 33 hikayat. Seluruh hikayat menggambarkan keluhuran budi Seh Abdul Kodir Jaelani yang tidak ada cacatnya, yang menunjukkan sifat-sifat baik menjadi tuntunan agama Islam.





Wawacan “Panganten Tujuh”
Riwayat ini diceritakan oleh Anas bin Malik Rodiallahu Ta’ala. Pada suatu hari Rasulullah dihadapan para Muhajir, Soha dan Ansor. Seorang sahabat bertanya perihal makna hari Jum’at. Rasulullah menjelaskan bahwa hari Jum’at adalah hari silah dan nikah. Para sahabat meminta penjelasan lebih lanjut mengenai masalah tersebut
Hari Jum’at digunakan untuk hari perkawinan:
a. Pernikahan Nabi Adam dengan Babu Hawa.
Nabi Adam merasa kesunyian berada di surga. Pada suatu ketika, Nabi Adam sedang tidur, Tuhan memerintahkan malaikat Jibril untuk mengambil sebagian tulang rusuk kiri Nabi Adam. Tulang itu kemudian dijelmakan oleh Allah menjadi seorang wanita cantik diberi nama Babu Hawa. Allah memerintahkan para malaikat dan bidadari agar mempersiapkan perkawinan Adam dan Hawa. Babu Hawa tidak memperlakukan Nabi Adam sebagai suami sebelum menyerahkan mas kawin. Setelah Adam membaca solawat pada rosul terakhir, yaitu Muhammad, maka barulah Hawa sah dinikahi. Hari perkawinan Nabi Adam dengan Hawa, dijelmakannya Hawa menjadi wanita cantik dan diturunkannya Adam dan Hawa di padang Arafah setelah berpisah selama 100 tahun adalah pada hari Jum’at

b. Perkawinan Nabi yusuf dengan Julaeha
Nabi Yusuf menjadi budak belian Mesir. Julaeha isteri raja mencintai Nabi Yusuf. Julaeha menarik baju Yusuf hingga sobek sebab mau mengajak berbuat serong, nabi Yusuf menolak. Perbuatan julaeha terhadap Yusuf diketahui raja. Tapi karena Julaeha melaporkan lain, maka Yusuf dipenjara selama 13 tahun
Nabi Yusuf akhirnya menjadi raja. Ketika bertemu dengan Julaeha, Yusuf menolak cinta Julaeha sebab sudah nenek-nenek. Julaeha sakit hati atas perlakuan Yusuf, maka pergilah Julaeha ke hutan. Di hutan, atas petunjuk seorang kakek, Julaeha mandi di sebuah pancuran. Setelah mandi badannya berubah wujud menjadi seorang wanita muda yang cantik.
Nabi Yusuf melihat kecantikan Julaeha tertarik hatinya. Tapi Julaeha menolak dengan alasan sudah nenek-nenk. Kemudian atas bantuan maharaja Rayan bin Walid, Nabi Yusuf kawin dengan Julaeha. Perkawinan itu dilangsungkan pada hari Jum’at

c. Perkawinan Nabi Musa dan Sopura
Musa dapat meloloskan diri dari kepungan pembunuhan oleh kakitangan Raja Firaon di Mesir. Dalam perjalanan tak tentu tujuan, Musa datang di tanah Madyan. Di Madyan, Nabi Musa berjumpa dengan puluhan orang penggembala yang terdiri atas anak laki-laki dan perempuan. Di antara penggembala itu ada dua anak perempuan kakak beradik putera Nabi Sueb yang bernama Siti Mursilah dan Sorupa.
Ketika anak-anak gembala kesulitan air untuk minumnya kambing-kambing, Musa dapat menggulingkan batu besar yang ternyata penutup sumber air. Maka air bersih mengalir dengan derasnya dan ternakpun dapat minum dengan leluasa.
Siti Mursilah dan Sorupa berceritera kepada ayahnya bahwa ada seorang anak laki-laki yang dapat menggulingkan batu besar penutup sumber air. Nabi Sueb mengetahui bahwa menurut ramalan, yang dapat menggulingkan batu besar adalah orang yang akan menjadi rosul. Maka Nabi Sueb menyuruh Sopura untuk menjemput Musa, sedangkan Siti Mursilah disuruh menyediakan makanan.
Sopura tertarik hatinya kepada Musa, dan Nabi Sueb pun meminta kepada Musa agar mengawini Sopura, puterinya. Perkawinan dilakukan pada hari Jum’at dan sebagai mas kawin, Nabi Musa sanggup menggembalakan kambing milik Sopura selama 10 tahun.

d. Perkawinan Nabi Sulaeman dengan Ratu Bulqis
Nabi Sulaeman menjadi raja dari ratu-ratu angin, jin, manusia dan binatng. Kerajaan Nabi Sulaeman bernama negeri Sam. Ayah Nabi Sulaeman ialah Nabi Daud. Nabi Sulaeman diberi mukjizat oleh Allah, yaitu mempu mendengar jarak jauh walaupun hanya berbisik
Pada suatu ketika Nabi Sulaeman melakukan perjalanan keliling negeri. Di perjalanan Nabi Sulaeman bertemu dengan Hudhud dari negeri Yaman. Oleh Hudhud diceritakan kepada Mabi Sulaeman bahwa puteri raja Yaman bernama Bulqis sangat cantik. Bulqis sendiri berasal dari ibu seorang jin. Hudhud diperintah oleh Nabi Sulaeman untuk mengirimkan surat kepada Bulqis yang isinya agar Bulqis menghadap Nabi Sulaeman. Puteri Bulqis tidak yakin bahwa Nabi Sulaeman itu utusan Allah. Maka untuk mengujinya diutuslah Patih Mandar untuk mengirimkan upeti. Menurut pendapat Bulqis, jika upeti diterima berarti Sulaeman itu raja biasa saja.
Sebelum utusan itu tiba, Nabi Sulaeman memerintahkan kepada aparatnya untuk membuat istana yang megah. Ketika utusan tiba, Patih Mandar bukan main canggungnya sebab ia tidk bisa berada di istana yang megah. Upeti oleh nabi Sulaeman ditolak dan ia tetap minta agar Bulqis datang untuk memeluk agama Allah. Bila tidak datang, Yaman akan diserbu. Maka Bulqis pun datang menghadap ke Nabi Sulaeman dan ia merasa terkejut atas keagungan istana serta merasa aneh sebab “aras” miliknya di Yaman ada di keraton Nabi Sulaeman.
Nabi Sulaeman mencintai Bulqis. Namun, seorang raja jin tidak setuju nabi beristrikan Bulqis sebab takut Bulqis mendapat keturunan dari manusia. Oleh raja jin diceritakan kepada Nabi Sulaeman bahwa Bulqis itu kakinya pendek dan tidak berjari. Setelah dilakukan pengujian oleh Nabi Sulaeman, ternyata Bulqis tidak cacat. Maka kawinlah Nabi Sulaeman dengan Bulqis pada hari Jum’at.
Nabi Sulaeman tetap menetap di Sam, sedangkan Bulqis menetap di Yaman. Bulqis pun mau memeluk agama Allah sebagaimana kehendak nabi Sulaeman

e. Pernikahan Nabi Muhammad dengan Siti Khodijah
Setelah kakeknya meninggal dunia, Muhammad dipelihara oleh Abitolib, pamannya. Atikah bibinya Muhammad berpikir bahwa Muhammad sudah dewasa dan layak beristri. Oleh karena itu, untuk biaya pernikahan, Muhammad harus bekerja.
Muhammad diterima menjadi pegawai pada perusahaan milik Siti Khodijah. Disuruhnya Muhammad menemani Maesaroh pergi berdagang ke negeri orang di luar Mekah. Maesaroh merasa aneh sebab diperjalanan awan hitam selalumembayangi kafilah sehingga teduh dan barang dagaan pun sangat cepat laku dengan untung yang berlipat ganda.
Di tempat perniagaan Muhammad, Maesaroh, teman-teman lainnya menonton perayaan di gereja. Lampu-lampu gereja berjatuhan. Menurut kepercayaan umat Yahudi kejadian tersebut pertanda di tempat itu, ada orang yang akan menjadi nabi akhir dan mengganti kepercayaan. Maka dicarinya orang termaksud untuk dibunuh. Namun Muhammad dapat meloloskan diri berkat bantuan Maesaroh.
Semua kejadian di tempat perniagaan oleh Maesaroh diceritakan kepada Khodijah sehingga Khodijah berniat menjadikan Muhammad sebagai suaminya. Semua handai taulan baik dari pihak Muhammad maupun dari pihak Khodijah menyetujui perkawinan tersebut. Maka dilangsungkan perkawinan Muhammad dengan Khodijah pada hari Jum’at

f. Perkawinan Nabi Muhammad dengan Aisah
Setelah Khodijah meninggal dunia Nabi Muhammad mengalami rasa sedih yang mendalam. Nabi Muhammad merasa bahwa wanita macam Khodijah yang sangat luhur budinya itu tidak akan ada lagi. Maka datanglah Malaikat Jabrail yang menerangkan bahwa Allah telah mengawinkan Muhammad di langit ke tujuh dengan Siti Aisah puteri Abubakar.
Abubakar sangat gembira menerima lamaran Muhammad atas puterinya itu. Demikian pula Aisah merasa bahagia dicintai Nabi Muhammad. Maka dengan disaksikan oleh para sahabat, dilangsungkan pernikahan Nabi Muhammad dengan Aisah pada hari Jum’at bulan Syawal.

g. Perkawinan Baginda Ali dengan Fatimah
Semua sahabat nabi menyarankan kepada Ali agar secepatnya mengawini Fatimah. Tapi Ali bimbang sebab segan kepada Rasulullah. Fatimah sendiri pada waktu itu sudah berumur 14 tahun dan pantas untuk bersuami. Nabi Muhammad merasa sedih mengingat tidak ada yang mengurusi perkawinan Fatimah, sebab Khodijah, ibunya telah tiada.
Turunlah malaikat Jibril, Mikail, Ijrail dan Ridwan tatkala Nabi Muhammad merasa sedih. Diberinya bermacam-macam keperluan perkawinan. Oleh nabi ditolak bahwa alat-alat semacam itu nanti saja di akhirat diberikannya. Namun Jibril menjelaskan bahwa untuk di akhirat lain lagi.
Ketika malaikat menghilang, datanglah Ali meminang Fatimah. Dengan disaksikan oleh para sahabat dilangsungkanlah perkawinan Ali dengan Fatimah pada hari Jum’at. Mas kawin yang diberikan oleh Ali berupa uang 500 dirham kontan. Akan tetapi, Fatimah menolak maskawin tersebut dan ia meminta yang lain. Permintaan mas kawin itu ialah agar pada hari kiamat dapat mensyafaati umat nabi, baik laki-laki maupun perempuan yang maksiat dan tidak taat. Tiba-tiba turunlah Malaikat Jibril mewahyukan bahwa Allah telah meluluskan permintaan fatimah.






















Wawacan “Parikesit”
Warabimanyu putera Arjuna yang meninggal dalam perang Bratayuda, meninggalakan seorang putera bernama Parikesit. Baladewa yang tidak ikut berperang, mengasuh Parikesit sampai diangkat menjadi raja di Astina. Dalam memegang tampuk pemerintahan, Parikesit dibantu oleh dua orang patih yaitu Arya Sancaka putera Prabu Darawati dan Arya Bambang Kaca, putera Gatotkaca, Arya Sacamuka putera Tumenggung Jayadrata, bertindak sebagai menteri urusan jajahan.
Parikesit berputera tiga orang yaitu Udrayana, Udrayaka dan Udasangsana. Ketiga orang anak itu diasuh oleh Lurah Semar dan anak-anak ciptaannya yaitu Cepot, Udawala dan gareng.
Sacamuka bersama Togog mencoba mengelilingi seluruh negeri, dan tiba di suatu tempat terlarang, yaitu tempat yang berisi arca-arca para Kurawa. Sacamuka berkeinginan masuk ke tempat terlarang itu, maka tiba-tiba jiwanya kemasukan ratu siluman yang bernama Setra Ganda, yaitu wujud dari sukma Dewi Permoni yang dendam kepada Arjuna.
Di tempat terlarang Sacamuka mendapat keterangan dari Togog bahwa ayahnya yang bernama Jayadrata dibunuh oleh Arjuna pada waktu perang Bratayuda sebab Bimanyu dibunuh oleh Jayadrata. Maka Sacamuka melakukan pemberontakan terhadap Parikesit. Akan tetapi, Sacamuka dapat dikalahkan dan dibunuh dengan senjata panah Pasopati milik Arjuna yang tersimpan di gua Gunung Dieng.
Dewi Permoni keluar dari jasad Sacamuka dan menyuruh setan siluman agar masuk menjiwai binatang-binatang sehingga melakukan keributan. Kekacauan di seluruh negeri terjadi sehingga dua orang putera Parikesit yang kedua dan ketiga hilang dari keraton.
Parikesit jatuh sakit kemudian meninggal dunia. Prabu Baladewa yang mencoba melawan binatang-binatang yang mengamuk tidak mampu menandingi, malah kemudian meninggal dunia.
Udrayana diangkat menjadi raja Astina. Udrayaka bersama-sama dengan Semar tiba di pertapaan Bagawan Wilugangga dan diangkat anak oleh resi itu secara rahasia. Setelah dewasa, Udrayaka pergi ke Astina bermaksud akan mengabdi kepada raja.
Seekor kuda bernama Abrapuspa mengamuk di Astina dan tidak ada yang dapat menaklukan. Udrayaka yang dituduh menjadi penyebab kekacauan di dalam negeri, dihukum untuk menundukkan kuda yang mengamuk, Udrayaka dapat menundukan kuda itu sehingga ia terlepas dari hukuman berat lainnya, maka pengabdian kepada raja dapat diteruskan.
Udrayana, raja Astina ingin naik kuda Abrapuspa yang hanya tunduk kepada Udrayaka. Setelah Udrayaka naik kuda bersama-sama dengan Udrayana, kuda merasa tidak senang dan kemudian lari tidak menentu arah bersma kedua penunggangnya sehingga akhirnya masuk hutan.
Udrasangsana putera ketiga Parikesit, tersesat di hutan ditemukan oleh Indrabahu, patih negeri Nianti Pura yang dirajai oleh Prabu Sulangkara. Udrasangsana diangkat anak oleh Indrabahu yang kebetulan tidk mempunyai anak. Setelah dewasa, Udrasangsana rupanya mirip Arjuna dan pandai melukis.
Karena Udrasangsana dapat melukis keadaan seluruh negeri Nianti Pura, oleh Prabu Sulangkara diberi gelar Raden Sungging Prabangkara. Selain itu Udrasangsana akan dikawinkan dengan Setiowati, puteri raja. Akan tetapi karena Udrasangsana dapat melukis istana lengkap dengan seluruh isinya bahkan melukis Setiowati dengan tanda hitam pada payudaranya, menyebabkan Udarsangsana dihukum berat. Tangan, kaki, telinga, hidung dipotong, sedangkan mata dicongkel yang kemudian badanya diterbangkan dengan layang-layang yang setelah menjulang tinggi tali layang-layang itu diputuskan. Udrasangsana jatuh di tengah hutan, atas kekuasaan Yang Maha Esa, melalui penciuman kuda Abrapuspa dapat ditemukan oleh Udrayana dan Udrayaka. Udrasangsana dapat disembuhkan kembali berkat azimat Udrayaka pemberian Resi Begawan Wilugangga. Ketika ketiga orang itu berkumpul datanglah Semar memberi penjelasan bahwa mereka adalah tiga bersaudara kakak beradik putera Parikesit yang terpisah waktu Astina diamuk binatang-binatang.
Dewi Setiowati diculik oleh Udrasangsana. Akan tetapi karena Udrayana terpikat hatinya oleh Dewi Setiowati, oleh Udrasangsana diserahkan kepada Udrayana untuk diperistri. Udrayaka berperang melawan Prabu Sulangkara. Namun akhirnya setelah diketahui bahwa Prabu Sulangkara itu adalah masih keluarga dengan raja-raja Astina, maka diadakan perundingan. Setiowati diijinkan kawin dengan Udrayana
Bambang Kaca beserta para ponggawa datang ke Nianti Pura menghadiri pesta perkawinan. Setelah pesta selesai, Udrayana dan Setiowati beserta kedua adiknya dengan diiring oleh Semar dan para ponggawa, pulang ke Astina. Tiba di Astina disambut meriah oleh penduduk Astina dibawah pimpinan Arya Sancaka.





















“ Wawacan Sajarah Turunan Parakanmuncang ”

Naskah ini berisi beberapa buah silsilah yang berhubungan dengan Keluarga Bangsawan Timbanganten, Parakanmuncang, Pagaden dan Sumedang. Pada umumnya silsilah-silsilah tersebut diawali dari Nabi Adam sebagai manusia pertama, kemudian melalui Nabi Muhammad, Ratu Galuh, Ciung Wanara dan Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, Ratu Galuh dianggap sebagai raja pertama di Pulau Jawa.
Keluarga bangsawan Parakanmuncang muncul sejak Dalem Tanubaya Somahita memerintah Kabupaten Parakanmuncang. Ia putera Tumenggung Demung, cucu Sunan Pagerbarang, cicit Wastuha, piut Batara Kawindu. Batara Kawindu putera Sempujaya, cucu Batara Sumaryang, cicit Sumun, piut Demang Batara Sakti. Demang Batara Sakti putera Demung Sadakamulan, cucu Batara Tunggal, dan cicit Prabu Siliwangi. Sementara itu, Dalem Tanubaya Somahita digantikan oleh saudaranya yang bernama Dalem Dipati Tanubaya ( 1 ), yang lalu dimakamkan di Bujil. Ia berputera Dalem Tanubaya yang dimakamkan di Karasak, Galunggung ( 2 ), berputera Dalem Tanubaya yang dimakamkan di Cibodas, Parakanmuncang ( 3 ), berputera Dalem Patrakusumah yang menjadi Bupati di Sumedang dan dimakamkan di Jakarta ( 4 ), sebagai Bupati Parakanmuncang diganti oleh menantunya bernama Dalem Suria Natakusumah, berputera (wanita), Raden Riyakusumah; berputera Raden Ahmad yang menjadi patih Parakanmuncang; berputera Raden Jayuda; berputera Raden Haji Ahmad Hanafiah yang menjadi wedana pensiun Cicalengka dan dimakamkan di Cipetak, Cicalengka.
Selanjutnya, dikemukakan pula secara singkat mengenai kisah (sajarah) bangsawan Parakanmuncang yang bernama Raden Patrakusumah yang memerintah di Sumedang. Ia diangkat menjadi Bupati Sumedang, karena yang berhak menjadi bupati Sumedang, di sini disebut Pangeran Sumedang Sepuh, masih kanak-kanak sewaktu kedudukan itu kosong. Raden Patrakusumah membawa seorang puteri ke Sumedang bernama Raden Candranegara. Putri tersebut dinikahkan dengan Raden Surianagara, putera bupati Sumedang almarhum yang kemudian menjadi Pangeran Sumedang Sepuh. Dari pernikahan itu, lahirlah seorang puteri bernama Raden Rajanagara Talun. Raden Surianagara membenci mertuanya, kemudian ia lari ke Limbangan dan terus ke Cianjur. Di Cianjur Raden Surianagara menikah lagi dengan saudaranya Dalem Cikalong Sepuh. Isteri keduapun akhirnya dicerai dan menikah lagi dengan putra Raden Suradimaja di Sumedang. Dari pernikahan tersebut terakhir mempunyai putera bernama Raden Anggayuda yang menikah dengan Raden Nataningrum, putera Suradireja.







Wawacan “Samaun”
Ki Halid di negeri Mekah beristrikan Nyi Siti Huna. Mereka masih menyembah berhala. Karena putranya yang sembilan orang ittu perempuan semua, mereka selalu berdoa agar dikarunia anak laki-laki. Permohonan kedua orang suami istri itu dikabulkan, maka lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Samaun. Begitu anak itu dilahirkan, kemudian berlari ke luar rumah dan bersujud kepada Allah sambil mengucapkan kalimat syahadat. Nyi Siti Huna sangat terkejut, apalagi ketika disuruh menyusu tidak mau bahkan berkata tidak mau menyusu karena ibunya seorang kafir. Demi kebahagiaan anaknya, kemudian Siti Huna masuk islam dan mengucapkan syahadat.
Di tempat tidur Samaun selalu bercakap-cakap dengan ibunya. Ki Halid melihat kenyataan bahwa anaknya baru tiga hari sdudah dapat berbicara dan meminta adar ayahnya masuk Islam, maka Ki Halid pun masuk Islam san mengucapkan syahadat.
Nabi Muhammad mendengar ada anak yang baru dilahirkan sudah dapat berbicara dan kedua orang tuanya sudah mansuk Islam, berkenan pergi malayat.samaun dipanguk dan diciumi oleh Nabi Muhammad.
Abu Jahal mendengar Nabi Muhamad telah melayat keluarga Ki Halid, berkenan pula pergi menengok Samaun. Akan tetapi baru saja Abu Jahal masuk di pekarangan, Samaun berteriak-teriak mengancam sehingga Abu Jahal lari pontang-panting. Atas kelakuan Samaun semacam itu, menimbulkan kemarahan Abu Jahal. Patih Surakah diminta tolong oleh Abu Jahal agar Nabi Muhammad dan Samaun diusir dari Mekah. Ketika diadakan pembicaraan bagaimana caranya megusir Samaun, ternyata tidak ada yang sanggup. Oleh karena itu, Abu Jahal meminta bantuan kepada Kin Wan taja di negeri Iskandar.
Sebelum Kin Wan datang melapor Abu Jahal akan menangkap Samaun dilewatinya rumah Samaun itu. Kin Wan terpancing pertengkaran mulut dengan Samaun sehingga kemudian berkelahi dan Kin Wan terbunuh. Rakyat Mekah geger menyaksikan Kin Wan terbunuh itu. Abu Jahal bertambah marah. Dikumpulkannya tentara dan dikepungnya rumah Samaun. Akan tetpi, setiap orang yang akan menangkap Samaun selalu mati terbunuh.
Samaun pada suatu ketika bertemu dengan Abu Jahal di pasar. Terjadilah percakapan yang tidak mengenakan Abu Jahal, apalagi setelah Samaun meminta Abu Jahal agar puterinya diberikan untuk dijadikan istri. Samaun masuk ke rumah Abu Jahal. Di rumah Abu Jahal, Samaun menjumpai dua orang wanita dan satu diantaranya adalah puteri Abu Jahal. Kedua orang wanita itu kemudian masuk Islam dan dibawa ke rumah Samaun. Abu Jahal bukan main berangnya, tetapi ia bingung pula memikirkan bagaimana cara mengusir Samaun dan Nabi muhammad.
Tersebutlah di negeri Suara yang dirajai oleh Kobti mempunyai seprang puteri bernama Siti Mariyah. Walaupun sudah dilamar oleh banyak raja, tetapi selalu ditolak oleh ayahnya. Tanpa sepengetahuan ayahnya, Siti Mariyah menyuruh orang untuk datang kepada nabi Muhammad. Siti Maryah meminta Nabi Muhammad agar datang melamarnya. Mula-mula Nabi Muhammad bingung, tetapi setelah mendapat restu Siti Aisah istrinya, dan pula setelah mendapat wahyu, maka berangkatlah Nabi Muhammad beserta pengikut-pengikutnya ke negeri Suara. Raja Suara tidak senang atas kedatangan Nabi Muhammad itu dan terjadilah peperangan.
Peperangan antara balatentara Kobti dari negeri Suara dan tentara Nabi Muhammad dimenangkan oleh tentara Nabi Muhammad walaupun jumlah tentara Kobti jauh lebih banyak. Samaun dalam peperangan ini sangatlah besar jasanya, bahkan Siti Mariyah puteri raja Kobti pun dapat dibawa lari oleh Samaun, yang kemusian diserahkan kepada Nabi Muhammad. Raja Kobti berikut para pengawalnya mati terbunuh oleh Ali, sahabat nabi.
Para prajurit Kobti yang masih hidup bersma-sama Siti Mariyah kemudian masuk Islam. Seluruh harta kekayaan negeri Kobti dibawa ke negeri Mekah dan diperlakukan sebagai barang gonimah.



































Wawacan “Si Ogin Amar Sakti”
Baginda Ma’ruf raja kerajaan Madusari adalah putera Bagenda Hamzah, cucu nabi Yusuf, mempunyai dua orang istri. Istri pertama bernama Nurhayat, sedang istri kedua bernama Lasmaya. Bagenda Ma’ruf dari Nurhayat mempunyai dua anak tiri bernama Pangeran Sbang dan Raden Saka. Lasmaya sendiri adalah keturunan Wiku Bagawan Madali.
Bagenda Ma’ruf pergi berburu ke hutan. Lasmaya yang sedang hamil tua ditinggalkan bersama Nurhayat. Ketika Lasmaya melahirkan, Nurhayat menyuruh dukun beranak agar mata Lasmaya ditutup. Anak laki-laki yang lahir dari Lasmaya dibuang ke laut dan sebagai gantinya diletakan anak kucing, anak kera dan seekor burung ciung. Setelah Bagenda Ma’ruf datang bukan main marahnya dan menuduh Lasmaya berbuat serong sehingga disuruhnya dibunuh. Namun atas nasihat patih Budiman, Lasmaya tidak jadi dibunuh melainkan dibuang ke hutan. Lasmaya dimasukkan ke dalam kerangkeng besi dan ketiga “puteranya” diikutsertakan. Kucing kemudian diberi nama Panji Malang, kera diberi nama Panca Tanran dan burung diberi nama Panji layang. Ketiga “puteranya” itu dapat bertingkah seperti manusia dan dapat menceritakan kepada Lasmaya bahwa putera yang sebenarnya dibuang ke laut atas perintah Nurhayat.
Panca Tanran dan Panji Malang dapat mengambil pedang pusaka yang tersimpan di keraton Madusari. Dengan pedang tersebut kerangkeng dapat dihancurkan. Mereka kemudian berlindung di tanah ladang, di kaki gunung.
Antaboga, raja negeri Malebah dalam perjalanannya di pinggir laut menemukan seorang bayi laki-laki yang sedang terapung-apung. Bayi itu diambil, dipelihara dan diberi nama Amar Sakti. Setelah Amar sakti dewasa diberi tahu ole Antaboga tentang siapa sebenarnya Amar Sakti itu.
Amar Sakti diberi kesempatan berkelana mengelilingi negeri Malebah. Dalam kesempatan itu ia berjumpa dengan ibu serta adik-adiknya. Lasmaya dan ketiga “puteranya” dibawa oleh Amar Sakti ke Malebah dan diterima dengan baik oleh raja Antaboga.
Amar Sakti disuruh pergi ke Madusari oleh Antaboga untuk menjumpai ayahnya. Namun, diperjalanan di tengah hutan, Amar sakti berjumpa dengan rombongan Raja Bagenda Ma’ruf yang sedang kesulitan, karena ada seekor burung mengamuk. ketikaBagenda Ma’ruf akan ditanduk oleh seekor banteng. Amar Sakti yang menyamar sebagai anak kampung dapat membunuh banteng. Amar Sakti yang menyamar dibawa oleh Bagenda Ma’ruf ke Madusari dan diberi tugas menemani pangeran Sabang dan raden Saka. Di Madusari, Sarah berkesempatan berguru kepada Patih Budiman bersama-sama Pangeran Sabang dan raden Saka.
Nurhayat tidak senang dengan adanya Sarah di keraton. Pada kesempatan Sarah dibawa pergi oleh Pangeran Sabang dan raden Saka untuk mencari pedang yang hilang. Sarah dibunuh, kepada raja dilaporkan bahwa pedang tidak dpat ditemukan, sedangkan sarah mati diterkam binatang buas. Raja bersedih hati merindukan pedang yang hilang.
Karena Antaboga itu sebenarnya raja jin Islam. Ia mengetahui Amar Sakti yang berganti nama menjadi Sarah itu mati di tengah hutan. Antaboga segera datang dan menghidupkan kembali serta membuat pedang tiruan yang serupa dengan pedang kepunyaan Bagenda Ma’ruf yang hilang. Sarah disuruh pergi mengantarkan pedang ke raja Madusari. Kepada raja, sarah melaporkan bahwa benar ia diterima badak, dan di dalam perut badak ada seorang perempuan yang dijaga oleh seekor kucing, dan seekor burung. Dikatakan oleh Sarah bahwa pedang itu diperoleh dari ketiga ekor binatang itu. Setelah menyerahkan pedang, Sarah pergi pamit untuk pulang ke kampung.
Dalam perjalanan pulang, Sarah tiba di negeri Mulki. Rajanya yang bernama Mulkiyah mempunyai seorang putri yang cantik bernama Bidayasari. Di negeri Mulki, Sarah berganti nama menjadi Ogin dan disini dipungut anak oleh tukang kebun bunga. Bidayasari sangat senang kepada keindahan dan bunga-bungaan.
Bidayasari dilamar oleh raja Madusari untuk dikawinkan kepada putranya, dan Pangeran Sabgn dan Raden Saka disuruh tinggal di Keraton Mulki. Tetapi, Bidayasari tidak melayani malah pergi ke kampung dan mencintai Ogin, serta Ogin dibawa ke istana.
Raja Gumati dari kerajaan Geulang Karaton mencintai Budayasari. Dirga Bahu dan Jaya Kelana, patih kerajaan geulang Karaton menculik Bidayasari. Seluruh negeri geger dan pasukan tentara dikerahkan mencari. Ogin semula tidak ikut mencari, akan tetapi manakala raja menyatakan bahwa barang siapa dapat menyelamatkan Bidayasari akan dijadikan menantu. Ogin pun pergi mencari putri. Setelah sampai di luar istana, Ogin menjelma menjadi Amar Sakti dan kuda sakti pemberianAntaboga yang bernama Gelap Sakti siap membantunya. Akhirnya, penculik putri dapat dikalahkan dan putri dapat diselamatkan. Amar Sakti menolak mengantarkan putri ke istana walaupun putri menyatakan cinta kepada Amar Sakti. Dan oleh Amar Sakti diceritakan bahwa tahu putri diculik itu dari si Ogin. Amar Sakti meminta kepada putri bahwa untuk calon suami harus mengadakan sayembara yang isinya barang siapa dapat membawa kera, kucing dan burung yang bisa menyanyi dan berbicara, itulah jodohnya. Setelah berkata tentang permohonan sayembara Amar Sakti menghilang dan muncul kembali si Ogin. Putri marah kepada si Ogin sebab tidak terus terang mempunyai majikan tampan.
Raja Mulki mengadakan sayembara, kepada pelamar pertama yaitu Pangeran sabang, raja berkata bahwa sayembara itu dilakukan untuk keadilan karena ada seratus orang pelamar. Si Ogin permisi pulang kampung dan kepada Antaboga berkata bahwa ia mencintai putri. Antaboga menyuruh Panji Malang, Panji Lyang dan Panca Tandran melamar putri. Karena ketiga binatang itu kelakuannya seperti manusia dan sangat menyenangkan, raja menerima lamaran.
Patih Durjaman mempengaruhi raja Mulki yang sedang bingung. Patih menyarankan agar dilakukan perkawinan dengan Pangeran Sabang dari Madusari. Akan tetapi, pada saat perkawinan dilangsungkan, datanglah rombongan Lasmaya dari Malebah dan mendesak bahwa putranyalah yang berhak menjadi suami sang putri. Terjadilah pertarungan antara Madusari dan Malebah. Dewi Lasmaya ikut berperang dan tidak dapat dikalahkan. Nurhayat akhirnya diketahui berbuat curang. Maka Bagenda Ma’ruf kembali berpramesuri Lasmaya, sedangkan Ogin Amar Sakti menikah dengan Bidayasari.












































Wawacan “Sulanjana”
Di Suralaya para dewa bermusyawarah untuk mendirikan bakal Pancawarna. Dewa Anta ditugasi membuat batu penyangga tiang. Tetapi karena badannya berbentuk ular, dewa Anta tidak dapat melaksanakan tugasnya. Dewa Anta menangis sedih sehingga meneteskan air mata tiga butir. Air mata itu kemudian berubah menjadi tiga butir telur yang dibawanya dengan cara digenggam oleh mulut.
Karena kesalahan seekor burung elang, telur itu jatuh dua butir yang kemudian menetas menjadi Kalabuat dan Budug Asu. Sapi Gumarng raja segala binatang jelmaan kecing idajil (setan), memelihara Kalabuat dan Budug Basu sebagai anak angkat.
Atas perintah Batara Guru, telur yang tinggal sebutir itu dierami oleh Dewa Anta. Telur menetas, lahirllah seorang putri yang cantik diberi nama Dewi Pohaci Terus Dangdayang atau juga Dewi Aruman.
Batara Guru mencintai Dewi Pohaci dan berniat memperistri. Akan tetapi keinginan Batara Guru itu ditentang oleh Batara Narada sebab hal itu akan merusak citra Batara guru. Di samping itu, Batara Guru oleh Batara Narada dianggap melanggar hukum dan merusak agama sebab Dewi Pohaci diasuh dan disusui oleh Dewi Umah, istri Batara Guru. Jadi, Dewi Pohaci masih tergolong anak Batara Guru, dengan demikian perkawinan Batara Guru dan Dewi Pohaci tidak boleh terjadi.
Agar perkawinan tidak jadi, Batara Narada mencari akal. Diberinya Dewi Pohaci buah kloldi sehingga berhenti menyusu. Tapi karena ketagihan dan buah koldi itu tidak ada lagi, Dewi Pohaci jatuh sakit sehingga meninggal dunia. Mayat Dewi Pohaci diurus oleh Bagawan Sang Sri dan kuburannya dijaga siang malam sambil menyalakan dupa. Kemudian keluarlah dari dalam kuburan itu berjenis-jenis tanaman. Dari kuburan bagian kepala keluar kelapa, dari telinga keluar macam-macam padi ketan, dari tangan keluar enau, dari jari keluar macam-macam pohon bambu, dari tali ari-ari keluar tumbuhan menjalar, dari payudara keluar macam-macam buah-buahan, dan dari bagian tubuh yang berbulu macam-macam rerumputan. Pendek kata semua jenis pepohonan berasal dari tubuh Dewi Pohaci.
Semar ditugasi oleh Batara Guru Untuk membawa bibit-bibit tanaman itu ke negeri Pakuan yang dirajai Prabu Siliwangi. Istri Prabu Siliwangi bernama Dewi Nawang Wulan adalah putra Batara Guru. Maka dengan adanya bibit tanaman itu, negeri Pakuan menjadi subur makmur. Akan tetapi, Prabu Siliwangi dilarang mengetahui bagaimana Dewi Nawang Wulan menanak nasi. Jika Sang Prabu melanggar larangan akan jatuh talak kepada Nawang Wulan.
Tersebutlah Budug Asu yang diasuh Sapi Gumarang yang berada di Tegal Kapapan mencari Dewi Pohaci. Tiba di kuburan Dewi Pohaci, Budug Asu mengelilingi kuburan sebanyak tujuh kali. Setelah itu, Budug Basu meninggal dunia. Mayatnya oleh Kalamullah dan Kalamuntir dibawa keliling dunia sebanyak tujuh kali. Tetapi di tengah perjlanan mayat Budug Basu itu menjelma menjadi berjenis-jenis binatang bahkan peti mayatnyapun menjelma menjadi seekor badak. Kalamullah dan Kalamuntir, menjaga binatang-binatang itu menjadi sua bagian, yakni bagian darat dan bagian laut.
Sulanjana putra laki-laki yang diasuh Dewi Pratiwi, dititipi negeri Suralaya sebab Batara Guru dan Batara Narada akan turun ke bumi memeriksa negeri Pakuan, kedua batara itu menjelma menjadi burung pipit.
Tersebutlah Demu Awang dari negeri seberang akan membeli padi dari pakuan, karena padi-padi tersebut hanya titipan batara Guru, oleh putra Siliwangi permohonan Dempu Awang itu ditolak. Karena Dempu awang sakit hati, dimintanya bantuan Sapi Gumarang untuk merusak tanaman padi.
Sapi Gumarang dibantu oleh binatang-binatang jelmaan Budug Basu, merusak tanaman padi, sedangkan Sulanjana dan kedua orang adik perempuannya yang bernama Talimendang dan Talimenir, menjaga dan menyembuhkan padi atas perintah Batara guru. Terjadilah peperangan antara penjaga dan perusak. Akan tetapi aklhirnya Sapi Gumarang kalah dan berjanji akan mengabdi kepada Sulanjana asal pada setiap mulai menanam padi “disambat” (dipanggil secara batin), serta disediakan daun paku pada pupuhunan (tempat saji di ladang atau di sawah).
Prabu Siliwangi penasaran ingin melihat cara Nawang wulan menanak nasi. Dibukanya pada yang sedang dimasak. Maka Dewi Nawang Wulan kembali ke kahyangan. Namun sebelum pergi sempat berpesan terlebih dahulu agar membuat lesung, dulang, kipas, bakul dan periuk untuk menanak nasi. Prabu Siliwangi menyesal dan menghadap Batara guru minta pengampunan dan agar Dewi Nawang Wulan kembali ke Pakuan. Permohonan Sang Prabu ditolak, kemudian pulang ke Pakuan setelah menerima pelajaran bagaimana menanak nasi dan bercocok tanam yang baik. Dewa Anta oleh Batara Guru diturunkan ke bumi untuk menjaga padi.

Selasa, 10 Maret 2009

PRABU SILIWANGI
Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).
Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira".
Indonesia: Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.

[sunting] Biografi

[sunting] Masa muda
Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.
Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja):
"Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.
Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa.
Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda".

[sunting] Perang Bubat
Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya ("silih"nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).
Nah, orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah "seuweu" Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus "langsung" dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).
Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai "silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). "Silih" dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.

[sunting] Kebijakan Sri Baduga dan Kehidupan Sosial
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.
Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".
Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.
Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma".
Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.
"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.
Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).
Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah zaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.
Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakon gawe" dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.
Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.
Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak.
Gelar "Sripaduka" ( Sri Baduga ) pada zaman Pajajaran Nagara disandang oleh 3 tokoh : 1. Wastukancana / Rd. Pitara Wangisuta / SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU DEWATA PURANA RATU HAJI DI PAKUAN PAJAJARAN SANG RATU KARANTEN ( KARA ANTEN ) RAKEYAN LAYARAN WANGI /SUNAN RUMENGGONG (RAMA HYANG AGUNG ) adik dari Dyah Pitaloka Citraresmi anak dari Rd. Kalagemet /Jayanagara II / Raja Sundayana di Galuh /Ratu Galuh di Panjalu / Maharaja Prabu Wangi dan merangkap Wali Nagari Hujung Galuh ( Majapahit-Pajajaran Wetan / Jawa Pawatan / Galuh - menjadi wali sang kakak Linggabuana/Jayanagara I/Maharaja Prabu Diwastu ayah dari Hayam Wuruk /Hyang Warok /Rd. Inu Kertapati /Susuk Tunggal /Prabumulih /Prabu Seda Keling /Sang Haliwungan /Pangeran Boros Ngora/Ra- Hyang Kancana )gugur pada "PERANG BUBAT" dalam pertempuran yang tidak "FAIR" atas "REKAYASA" Gajah Mada / Guan Eng Cu dan Nangganan /Ki Ageng Muntalarasa /Syekh BEN TONG!!!!,dengan cara dibokong dan di keroyok !!!
2. Mundinglayadikusumah / Rd. Samadullah Surawisesa Mundinglayadikusumah/SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU GANTANGAN SANG SRI JAYA DEWATA /KEBO KENONGO /ARYA KUMETIR /RD.KUMETIR /KI AGENG PAMANAH RASA / SUNAN PAGULINGAN anak dari LINGGA HYANG / LINGGA WESI / HYANG BUNI SWARA /SRI SANGGRAMAWIJAYA TUGGAWARMAN /MAHAPATI ANAPAKEN ( MENAK PAKUAN )/ RD. H. PURWA ANDAYANINGRAT / SUNAN GIRI /HYANG TWAH / BATARA GURU NISKALAWASTU DI JAMPANG
3. MUNDINGWANGI/ SRI PADUKA MAHARAJA PRABU GURU DEWATAPRANA SANG PRABU GURU RATU DEWATA anak dari Wastukancana.
Rakeyan Mundinglaya
SILIWANGI I Rd. Samadullah Surawisesa Mundinglayadikusumah Sri Paduka Maharaja Prabu Guru Gantangan Sang Sri Jaya Dewata / Ki Ageng Pamanah Rasa / Sunan Pagulingan / Kebo Kenongo / Rd. Kumetir / Layang Kumetir
Rakeyan Mundingwangi
SILIWANGI II Rd.Salalangu Layakusumah Sri Paduka Maharaja Prabu Guru Dewata Prana Sang Prabu Guru Ratu Dewata / Kebo Anabrang ?
Rakeyan Mundingsari /Mundingkawati
SILIWANGI III Tumenggung Cakrabuana Wangsa Gopa Prana Sang Prabu Walangsungsang Dalem Martasinga Syekh Rachmat Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati I Ki Ageng Pamanahan / Kebo Mundaran ?

[sunting] Peristiwa-peristiwa di masa pemerintahannya
Beberapa peristiwa menurut sumber-sumber sejarah:

[sunting] Carita Parahiyangan
Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :
"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa".
(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).
Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama.
RAKEYAN MUNDINGSARI/MUNDINGKAWATI/TUMENGGUNG CAKRABUWANA WANGSA GOPA PRANA SANG PRABU WALANGSUNGSANG/DALEM MARTASINGA /SYEKH RACHMAT SYARIF HIDAYATULLAH SUNAN GUNUNG JATI I /KEBO ANABRANG ? SILIWANGI III /SUNAN RACHMAT adalah anak dari Hyang Warok / Susuk Tunggal /Sang Haliwungan

[sunting] Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2.
Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat)]
Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.
Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, akhirnya Jagabaya menghamba dan masuk Islam.
Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. [Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang).
Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran].
Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun PAGELARAN (formasi tempur). [Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.
Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah Kapal Jung 150 ton dan beberaa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)].
Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu :
Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).
Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.
Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.
Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon.
Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Alfonso d'Albuquerque di Malaka (ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai atau Samudra Pasai). Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.
Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya -- Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara -- diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).
Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan zaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).
Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.
Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam zaman Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhuna di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya.
Pada tahun 1601 Prabu Geusan Ulun wafat dan digantikan oleh putranya Pangeran Aria Soeriadiwangsa, pada masa Aria Soeriadiwangsa kekuasaan Sumedang Larang di daerah sudah menurun dan Mataram melakukan perluasan wilayah ke segala penjuru tanah air termasuk ke Sumedang. Pada waktu itu Sumedang Larang sudah tidak mempunyai kekuatan untuk melawan yang akhirnya Pangeran Aria Soeriadiwangsa pergi ke Mataram untuk menyatakan Sumedang menjadi bagian wilayah Mataram pada tahun 1620. Wilayah bekas kerajaan Sumedang Larang diganti nama menjadi Priangan yang berasal dari kata “Prayangan” yang berarti daerah yang berasal dari pemberian yang timbul dari hati yang ikhlas dan Pangeran Aria Soeriadiwangsa diangkat menjadi Bupati Sumedang pertama dan diberi gelar Rangga Gempol I (1601 – 1625 M). Sumedang menjadi bagian dari wilayah Mataram karena Pangeran Aria Soeriadiwangsa I mengganggap ; 1. Sumedang sudah lemah dari segi kemiliteran, 2. menghindari serangan dari Mataram karena waktu itu Mataram memperluas wilayah kekuasaannya dari segi kekuatan Mataram lebih kuat daripada Sumedang dan 3. menghindari pula serangan dari Cirebon dan VOC. Sultan Agung kemudian membagi-bagi wilayah Priangan menjadi beberapa Kabupaten yang masing-masing dikepalai seorang Bupati, untuk koordinasikan para bupati diangkat seorang Bupati Wadana. Pangeran Rangga Gempol I adalah Bupati Sumedang yang merangkap sebagai Bupati Wadana Priangan pertama (1601 – 1625 M).
Yang akhirnya wilayah Sumedang Larang pada masa Prabu Geusan Ulun menjadi wilayah Sumedang sekarang. Berakhirlah sudah kerajaan Sunda terakhir Sumedang Larang di Jawa Barat Sumedang memasuki era baru yaitu Kabupaten pada tahun 1620 sampai sekarang. Sejak menjadi Kabupaten, Bupati yang memimpin Sumedang sampai tahun 1949 merupakan keturunan langsung dari Prabu Geusan Ulun (lihat masa pemerintahan) tetapi pada tahun 1773 – 1791 yang menjadi Bupati Sumedang adalah Bupati penyelang / sementara dari Parakan Muncang. Menggantikan putra Bupati Surianagara II yang belum menginjak dewasa Rd. Djamu atau terkenal sebagai Pangeran Kornel.
SEJARAH MUSEUM PRABU GEUSAN ULUN.
Awal berdirinya Museum Prabu Geusan Ulun, diawali berdirinya “Yayasan Pangeran Aria Soeria Atmadja (YAPASA)”, yayasan yang mengurus, memelihara dan mengelola barang – barang wakaf Pangeran Aria Soeria Atmadja Bupati Sumedang 1882 – 1919. Untuk melestarikan benda – benda wakaf tersebut YAPASA merencanakan untuk mendirikan Museum. Pada tahun 1973 YAPASA berubah nama menjadi Yayasan Pangeran Sumedang (YPS) dan didirikan sebuah Museum yang bernama Museum Yayasan Pangeran Sumedang yang pada mulanya dibuka hanya untuk di lingkungan para wargi keturunan dan seketurunan Leluhur Pangeran Sumedang.
Pada tanggal 7 – 13 Maret 1974 di Sumedang diadakan Seminar Sejarah Jawa Barat yang dihadiri oleh para ahli-ahli sejarah Jawa Barat. Pada kesempatan yang baik itu Sesepuh YPS dan Sesepuh Wargi Sumedang mengusulkan untuk mengganti nama Museum YPS. Dan salah satu hasil dari Seminar Sejarah Jawa Barat tersebut dapat diputuskan dan ditetapkan untuk memberi nama Museum YPS, diambil dari nama seorang tokoh yang karismatik yaitu Raja pertama dan terakhir Kerajaan Sumedanglarang yang bernama “Prabu Geusan Ulun”. Maka pada tanggal 13 Maret 1974 Museum YPS diberi nama menjadi Museum “Prabu Geusan Ulun” –YPS.
Gedung pertama yang dipakai sebagai Museum adalah Gedung Gendeng
Pada tanggal 7 – 13 Maret 1974 di Sumedang diadakan Seminar Sejarah Jawa Barat yang dihadiri oleh para ahli-ahli sejarah Jawa Barat. Pada kesempatan yang baik itu Sesepuh YPS dan Sesepuh Wargi Sumedang mengusulkan untuk memberi nama Museum YPS yang disampaikan pada forum Seminar Sejarah Jawa Barat. Dan salah satu hasil dari Seminar Sejarah Jawa Barat tersebut dapat diputuskan dan ditetapkan untuk memberi nama Museum YPS, diambil dari nama seorang tokoh yang karismatik yaitu Raja pertama dan terakhir Kerajaan Sumedanglarang yang bernama “Prabu Geusan Ulun”. Maka pada tanggal 13 Maret 1974 Museum YPS diberi nama menjadi Museum “Prabu Geusan Ulun” –YPS.

SEJARAH sSUMEDANG OLEH RD. YURA WIRAKUSUMAHADINATA

Kerajaan Sumedang Larang (kini Kabupaten Sumedang) adalah salah satu dari berbagai kerajaan Sunda yang ada di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Terdapat kerajaan Sunda lainnya seperti Kerajaan Pajajaran yang juga masih berkaitan erat dengan kerajaan sebelumnya yaitu (Kerajaan Sunda-Galuh), namun keberadaan Kerajaan Pajajaran berakhir di wilayah Pakuan, Bogor, karena serangan aliansi kerajaan-kerajaan Cirebon, Banten dan Demak (Jawa Tengah). Sejak itu, Sumedang Larang dianggap menjadi penerus Pajajaran dan menjadi kerajaan yang memiliki otonomi luas untuk menentukan nasibnya sendiri.
No.
Masa[1]
Tahun
1
Kerajaan Sumedang Larang
900 - 1601
2
Pemerintahan Mataram II
1601 - 1706
3
Pemerintahan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)
1706 - 1811
4
Pemerintahan Inggris
1811 - 1816
5
Pemerintahan Belanda / Nederland Oost-Indie
1816 - 1942
6
Pemerintahan Jepang
1942 - 1945
7
Pemerintahan Republik Indonesia
1945 - 1947
8
Pemerintahan Republik Indonesia / Belanda
1947 - 1949
9
Pemerintahan Negara Pasundan
1949 - 1950
10
Pemerintahan Republik Indonesia
1950 - sekarang

[sunting] Asal-mula nama
Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.

[sunting] Pemerintahan berdaulat
No.
Nama[2]
Tahun
1
Nama Raja-raja Kerajaan Sumedang Larang
a
Prabu Guru Aji Putih
900
b
Prabu Agung Resi Cakrabuana / Prabu Taji Malela
950
c
Prabu Gajah Agung
980
d
Sunan Guling
1000
e
Sunan Tuakan
1200
f
Nyi Mas Ratu Patuakan
1450
g
Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata
1530 - 1578
h
Prabu Geusan Ulun / Pangeran Angkawijaya
1578 - 1601
2
Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan Mataram II
a
R. Suriadiwangsa / Pangeran Rangga Gempol I
1601 - 1625
b
Pangeran Rangga Gede
1625 - 1633
c
Pangeran Rangga Gempol II
1633 - 1656
d
Pangeran Panembahan / Pangeran Rangga Gempol III
1656 - 1706
3
Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan VOC, Inggris, Belanda dan Jepang
a
Dalem Tumenggung Tanumaja
1706 - 1709
b
Pangeran Karuhun
1709 - 1744
c
Dalem Istri Rajaningrat
1744 - 1759
d
Dalem Anom
1759 - 1761
e
Dalem Adipati Surianagara
1761 - 1765
f
Dalem Adipati Surialaga
1765 - 1773
g
Dalem Adipati Tanubaja (Parakan Muncang)
1773 - 1775
h
Dalem Adipati Patrakusumah (Parakan Muncang)
1775 - 1789
i
Dalem Aria Sacapati
1789 - 1791
j
Pangeran Kornel / Pangeran Kusumahdinata
1791 - 1800
k
Bupati Republik Batavia Nederland
1800 - 1810
l
Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Lodewijk, Adik Napoleon Bonaparte
1805 - 1810
m
Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Kaisar Napoleon Bonaparte
1810 - 1811
n
Bupati Masa Pemerintahan Inggris
1811 - 1815
o
Bupati Kerajaan Nederland
1815 - 1828
p
Dalem Adipati Kusumahyuda / Dalem Ageung
1828 - 1833
q
Dalem Adipati Kusumahdinata / Dalem Alit
1833 - 1834
r
Dalem Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja
1834 - 1836
s
Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Soegih
1836 - 1882
t
Pangeran Aria Suria Atmaja / Pangeran Mekkah
1882 - 1919
u
Dalem Adipati Aria Kusumahdilaga / Dalem Bintang
1919 - 1937
v
Dalem Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata / Dalem Aria Sumantri
1937 - 1942
w
Bupati Masa Pemerintahan Jepang
1942 - 1945
x
Bupati Masa Peralihan Republik Indonesia
1945 - 1946
4
Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia
a
Raden Hasan Suria Sacakusumah
1946 - 1947
5
Bupati Masa Pemerintahan Belanda / Indonesia
a
Raden Tumenggung M. Singer
1947 - 1949
6
Bupati Masa Pemerintahan Negara Pasundan
a
Raden Hasan Suria Sacakusumah
1949 - 1950
7
Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia
a
Radi (Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia)
1950
b
Raden Abdurachman Kartadipura
1950 - 1951
c
Sulaeman Suwita Kusumah
1951 - 1958
d
Antan Sastradipura
1958 - 1960
e
Muhammad Hafil
1960 - 1966
f
Adang Kartaman
1966 - 1970
g
Drs. Supian Iskandar
1970 - 1972
h
Drs. Supian Iskandar
1972 - 1977
i
Drs. Kustandi Abdurahman
1977 - 1983
j
Drs. Sutarja
1983 - 1988
k
Drs. Sutarja
1988 - 1993
l
Drs. H. Moch. Husein Jachja Saputra
1993 - 1998
m
Drs. H. Misbach
1998 - 2003
n
H. Don Murdono,SH. Msi
2003 - 2008
o
H. Don Murdono,SH. Msi
2008 - 2013

[sunting] Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)
Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Beliau punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.
Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan pera keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.
Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.
Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.

[sunting] Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri
Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.
Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki enam orang anak, yaitu :
Pangeran Angkawijaya (yang tekenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)
Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam.
Kiyai Demang Watang di Walakung.
Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.
Santowaan Cikeruh.
Santowaan Awiluar.
Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.

[sunting] Prabu Geusan Ulun
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Beliau menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.
Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.
Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante). Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang ia mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.
Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Ketika dalam perjalanan pulang ternyata tanpa sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dam karena Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke Sumedang. Karena kejadian itu, Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang.
Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu pula ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas orang anak:
Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang
Raden Aria Wiraraja, di Lemahbeureum, Darmawangi
Kiyai Kadu Rangga Gede
Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cundukkayu
Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning
Raden Ngabehi Watang
Nyi Mas Demang Cipaku
Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi
Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum
Rd. Rangga Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan
Nyi Mas Rangga Pamade
Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung
Rd. Suridiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panemabahan Ratu
Pangeran Tumenggung Tegalkalong
Rd. Kiyai Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).

[sunting] Pemerintahan di bawah Mataram

[sunting] Dipati Rangga Gempol
Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun 1620 M Sumedang Larang dijadikannya wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai 'kerajaan' dirubahnya menjadi 'kabupatian wedana'. Hal ini dilakukannya sebagai upaya menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan Mataram dari serangan Kerajaan Banten dan Belanda, yang sedang mengalami konflik dengan Mataram. Sultan Agung kemudian memberikan perintah kepada Rangga Gempol beserta pasukannya untuk memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Sedangkan pemerintahan untuk sementara diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede.

[sunting] Dipati Rangga Gede
Ketika setengah kekuatan militer kadipaten Sumedang Larang diperintahkan pergi ke Madura atas titah Sultan Agung, datanglah dari pasukan Kerajaan Banten untuk menyerbu. Karena Rangga Gede tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur.

[sunting] Dipati Ukur
Sekali lagi, Dipati Ukur diperintahkan oleh Sultan Agung untuk bersama-sama pasukan Mataram untuk menyerang dan merebut pertahanan Belanda di Batavia (Jakarta) yang pada akhirnya menemui kegagalan. Kekalahan pasukan Dipati Ukur ini tidak dilaporkan segera kepada Sultan Agung, diberitakan bahwa ia kabur dari pertanggung jawabannya dan akhirnya tertangkap dari persembunyiannya atas informasi mata-mata Sultan Agung yang berkuasa di wilayah Priangan.

[sunting] Pembagian wilayah kerajaan
Setelah habis masa hukumannya, Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali untuk memerintah di Sumedang. Sedangkan wilayah Priangan di luar Sumedang dan Galuh (Ciamis), oleh Mataram dibagi menjadi tiga bagian[3]:
Kabupaten Sukapura, dipimpin oleh Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, gelar Tumenggung Wiradegdaha/R. Wirawangsa,
Kabupaten Bandung, dipimpin oleh Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar Tumenggung Wirangun-angun,
Kabupaten Parakanmuncang, dipimpin oleh Ki Somahita Umbul Sindangkasih, gelar Tumenggung Tanubaya.
Kesemua wilayah tersebut berada dibawah pengawasan Rangga Gede (atau Rangga Gempol II), yang sekaligus ditunjuk Mataram sebagai Wadana Bupati (kepala para bupati) Priangan.

[sunting] Peninggalan budaya
Hingga kini, Sumedang masih berstatus kabupaten, sebagai sisa peninggalan konflik politik yang banyak diintervensi oleh Kerajaan Mataram pada masa itu. Adapun artefak sejarah berupa pusaka perang, atribut kerajaan, perlengkapan raja-raja dan naskah kuno peninggalan Kerajaan Sumedang Larang masih dapat dilihat secara umum di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang letaknya tepat di selatan alun-alun kota Sumedang, bersatu dengan Gedung Srimanganti dan bangunan pemerintah daerah setempat.

[sunting] Lihat pula
Kabupaten Sumedang
Museum Prabu Geusan Ulun

[sunting] Catatan kaki
^ Brosur Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang, Cetakan ke-2 1989, R.M. Abdullah Kartadibrata, Yayasan Pangeran Sumedang, Museum Prabu Geusan Ulun.
^ Brosur Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang, Cetakan ke-2 1989, R.M. Abdullah Kartadibrata, Yayasan Pangeran Sumedang, Museum Prabu Geusan Ulun.
^ Naskah Sajarah Sukapura. Pemegang naskah R. Sulaeman Anggapradja. Kota Kulon, Garut Kota, tanpa tahun.

Minggu, 08 Maret 2009